"Otish!" Wanita berwajah galak itu menegurku dengan matanya yang garang.
Kusibakkan rambutku yang sudah menyentuh kerah baju. Kutatap dia tanpa sedikit pun rasa segan.
"Dari mana kamu?" tanyanya ketus.
"Sekolah," jawabku tak kalah ketus.
Matanya menggeram padaku. Tubuhnya yang langsing dan dibalut blazer dengan merk tersohor, dihempaskan ke sofa yang ada di ruang tamu. Diangkatnya dagunya, semakin membuat wajahnya yang dingin itu tampak begitu angkuh.
"Duduk!" Ia menunjuk ke sofa di depannya dengan jemarinya yang dihiasi cat kuku merah tua.
Dengan mendengus jengkel, kuhempaskan tubuhku penuh kemalasan.
Matanya menyusuri aku, seperti seorang jaksa berhadapan dengan pembunuh berdarah dingin. Aku tak peduli.
Yah... kenalkan! Wanita eksklusif ini Mamaku. Musuh bebuyutanku. Orang yang selalu menganggap aku binatang liar yang tak pernah punya sisi kebaikan.
"Ke mana kamu tadi?" Seolah lupa, ia bertanya lagi.
"Ke sekolah!" tandasku kasar.
"Sekali lagi. Ke mana kamu tadi?" Matanya semakin menajam menusukku.
Aku menghela napas berat. Jengkel dan kesal.
"Pergi."
"Ke mana?"
Aku tak mau menjawabnya.
"Sudah berapa lama kamu nggak sekolah?"
Aku meringis keki. Dia masih menunggu jawabanku.
"Baru tigabelas hari," aku menjawab ringan.
"Oh, bagus!" serunya sinis.
Aku diam saja. Bodoh amat apa katamu! batinku memaki.
Mama berdiri. Masih dengan dagu yang sedikit terangkat, Mama menatap sejenak padaku.
Kutatap matanya. Kutatap lebih dalam lagi. Aku mencari kasih sayang yang selalu kuragukan di sana. Tapi rangkaian tembok baja yang terlalu kokoh, yang terlalu dingin, membalas harapanku.
"Sehari lagi kamu bolos, uang jajan cuti tiga bulan." Tekanan nadanya mengisyaratkan aku akan ketidakmungkinan untuk membantah.
Mama meninggalkanku. Dengan langkah yang tegar, ia menghilang ditelan pintu kamarnya.
Dengan geram aku berjalan ke kamar. Kubanting pintu kamarku dengan keras.
Sayang, foto Mama di mejaku sudah kubakar dua hari yang lalu. Sekarang tak ada lagi yang bisa kulakukan, untuk menyuapi kekesalanku agar tak kelewat kelaparan.
Mama keterlaluan. Dia selalu berusaha menjadi musuhku. Dia tak mau mengerti akan aku. Selalu!
Di mata Mama hanya ada Yoshan, Abangku yang sempurna. Abangku yang kini kos di dekat kampusnya. Abangku yang kuliah di Universitas Indonesia fakultas Kedokteran. Abangku yang tak tak pernah membuat cela. Selalu menjadi yang terbaik. NEM tertinggi di sekolah, diraihnya waktu SD dan SMP - malah diukirnya nilai tertinggi untuk wilayahnya. Ketua Kelas, Ketua Panitia, bahkan Ketua OSIS hampir tak pernah absen mengunjunginya.
Mama terlalu. Ia selalu menekanku. Mengharapkan aku bisa melampaui, atau minimal menjajari Abangku itu. Semua cara dilakukannya. Bahkan juga dengan merampas setengah dari hidupku. Melukis. Kegiatan yang bagaikan napas cadangan untukku.
Sejak aku gagal menjadi bintang kelas waktu duduk di kelas tiga tingkat SD, Mama melarangku untuk melukis. Padahal ia tahu, aku sudah suka melukis sebelum aku bisa menulis. Keterlaluan! Dan itu bukannya menobatkanku. Aku makin berontak. Akibatnya, aku tak naik kelas di kelas empat. Kemudian kuulangi lagi tiga tahun kemudian.
***
Mama tak pernah tahu, aku sangat kecewa ketika gagal jadi bintang kelas dulu itu. Bahkan aku berjanji dalam hati, kalau tahun berikutnya aku gagal lagi, aku akan berhenti melukis selama satu tahun penuh. Tapi Mama seenaknya merampas kegemaranku itu. Menutup telinga dari semua alasan yang kuungkapkan.
Kemudian aku dan Mama, semakin jauh. Protesku yang semakin mendapat tekanan dari Mama, membuat aku untuk lebih berulah lagi. Aku mulai merokok, minum minuman keras, bolos sekolah, dan bikin onar di sekolah.
Kemudian aku makin yakin, Mama dan aku sudah terpisah semakin jauh. Sedangkan Yoshan, Abangku, sudah berputus asa mendamaikan kami dan menasehati aku.
Aku merasakan, keraguan yang sangat dalam bilangan hari-hariku. Masih adakah sejumput kasih Mama untukku? Dan tanpa terasa perselisihan itu telah memakan banyak waktu kami. Sekarang aku duduk di kelas dua SMA, dan jurang perselisihan itu semakin baur dalam pesimisme untuk dapat terjawab tuntas.
Aku menghitung uang di dompetku. Heh, sepertinya masih cukup untuk membeli barang yang ditawarkan temanku tadi siang. Banyak hal yang sudah kucoba. Berbagai macam obat, sudah kuhapal harga, khasiat dan lama reaksinya. Tapi aku belum pernah mencoba satu yang ditawarkan Koko tadi. Hm, menurut promosinya sih, obat tadi memberi sensasi baru dalam melarikan diri dari kenyataan. Ah, aku tak sabar untuk mencicipinya.
"Otish! Otish! Sini cepat!"
Tuh kan, suara yang melengking itu sudah mendengung lagi.
Dengan gusar, terpaksa aku keluar kamar.
"Apaan sih, Ma?" tanyaku jengkel.
"Besok kamu Mama antar ke sekolah."
Mataku melotot. Diantar? Amit-amit! Kayak balita baru masuk Taman Kanak-Kanak saja.
"Nggak. Naik bis lebih enak."
"Besok Mama antar. Mama nggak mau wali kelas kamu menelepon lagi, karena kamu nggak muncul di sekolah tanpa sebab yang jelas."
Diktator! umpatku dalam hati. Dia selalu bicara seolah-olah 'ratu' di rumah ini. Absolut! Dan nggak ada yan bisa membantahnya. Huh! Gara-gara ditinggal Papa ketika aku masih belum bisa bicara, Mama memang jadi tak kenal musyawarah lagi. Dia tidak mau anak-anaknya sampai mengikuti jejak Papa. Oya, belum kuceritakan. Mama memang meninggalkan Papa karena Papa selalu punya wanita lain, dan tak pernah mau mencari nafkah
Hah, entah keberapa kali, kutatap lagi matanya. Menanyakan, masih adakah kasihnya untukku, dengan penuh keraguan. Tapi dia sudah berpaling meninggalkanku dan lenyap di kamarnya lagi. Ah! Sudah! Terlalu bodoh aku berharap.
***
Luar biasa! Aku sangat bahagia hari ini. Bayangkan, tadi pagi Mama mendapat telepon dari rumah sakit tempat dia bekerja. Katanya, ada pasien gawat darurat yang butuh pertolongan secepat mungkin.
Wah, syukurlah. Mama tipe dokter sejati. Dia selalu mendahulukan nyawa seseorang di atas segala-galanya.
Leganya....
Setelah tiga hari aku tersiksa. Bayangkan! Aku, Otish, biang kerok yang paling populer di sekolah, selama tiga hari diantar oleh Mamanya! Tak cukup hanya itu. Dia tidak akan pulang sebelum yakin aku benar-benar duduk dengan manis di kelasku yang menyebalkan itu. Malunya minta ampun. Seluruh dunia berlomba-lomba mengejek aku.
Sekarang tiba-tiba aku bebas. Hehehe. Bolos lagi, ah! Selagi ada kesempatan!
Aku sudah hampir keluar dari pagar rumahku. Tiba-tiba aku teringat. Oya! Uangku ludes sama sekali. Kemarin, Koko akhirnya punya kesempatan memberikan aku obat yang dijanjikannya, yang masih tersimpan di kantung celanaku dan belum sempat kuminum. Tentu saja ditukar dengan seluruh uangku. Tak mungkin aku bisa bolos dengan uang yang tinggal logam-logaman saja.
Aku pun kembali masuk ke rumah. Untung aku tahu tempat Mama menyimpan uang sisanya selama ini. Di laci meja riasnya, di atas laci rahasia, tempatnya menyimpan barang-barang berharga. Dasar Mama kurang mikir. Untuk apa dikuncinya laci tempat barang-barang kesayangannya? Paling-paling hanya berisi barang-barang rongsokan yang tak berguna. Lebih baik dikuncinya rapat-rapat lacinya yang berlimpah uang itu. Apalagi dia sadar aku sering menculik uang-uang itu. Tapi bodoh amat! Kalau benar-benar dikuncinya, dari mana bisa kudapatkan uang secara cepat dan efisien?
Aha! Ternyata uang Mama sedang banyak. Asyik! Bisa hidup nikmat hari ini. Buru-buru kusumpalkan uang-uang itu ke kantung bajuku. Saat aku mentutupnya, tiba-tiba aku tersadar. Lho? Kunci laci di bawahnya, laci rahasia Mama, masih bergantung di tempatnya! Rupanya Mama lupa membawanya.
Entah mengapa, tiba-tiba aku tertarik dan penasaran untuk membongkarnya. Maka tanpa ragu-ragu aku membukanya. Dan....
Aku terlongo! Ini pasti salah lihat. Isi laci itu...! Isi laci itu...! Astaga! Kertas-kertas yang dirawat begitu hati-hati dan sungguh-sungguh. Kebetulan kertas-kertas itu adalah keras yang berisi dengan coretan-coretan alias gambar-gambarku. Mama menyimpannya?! Semuanya?! Bahkan gambar yang disitanya, ketika secara diam-diam kubuat pada empat hari yang lalu. Bahkan yang satu ini....
Aduh! Ada satu gambarku, yang kubuat di usia enam tahun, yang dibingkainya dengan begitu apik. Astaga! Bagusan bingkainya daripada gambarnya. Aku tahu aku memang sangat berbakat menggambar. Tapi aku sadar dan mengaku kalau gambar itu terlalu buruk untuk diberi bingkai seindah itu.
Kemudian aku juga melihat dua buah album foto. Kuraih salah satu. Hm, semua berisi foto Yoshan semenjak ia masih digendong suster rumah sakit, hingga bermain gitar di tempat kosnya.
Yang satu lagi....
Penuh prasangka, kubuka perlahan. Ternyata, memang fotoku isinya. Sejak aku masih berwarna merah, hingga minggu lalu, saat aku ketiduran di depan TV. Ya, ampun. Sejak kapan Mama mengumpulkan dan mendokumentasikan semua ini? Aku terperangah.
Lima menit lewat sia-sia. Kutatap isi laci itu sekali lagi, untuk meyakinkan akan kenyataan.
Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku tak tahu makna semua ini. Aku bingung!
Aku menatap ke foto Mama di atas meja rias. Bertanya dengan penuh keraguan, masih adakah kasihnya untukku? Perlahan aku melihat ke dinding yang selama ini menyembunyikan jawaban itu, rontok secercah. Dan akan disusul dengan cercah lain.
Aku tak tahu. Apa yang harus kulakukan. Semua terlalu tiba-tiba. Mungkin otakku terlalu dangkal untuk menerima semua ini. Apakah aku harus mencoba untuk pulang dari segala pelarian dan pemberontakanku? Atau aku harus mencoba mengajak Mama berbicara dari hati ke hati? Mengatakan betapa tertekannya aku di balik bayangan obsesinya selama ini?
Entah!
Tapi yang pertama kali kulakukan, adalah mengeluarkan pil-pil kecil yang belum sempat kucicipi. Dengan penuh keyakinan, kuinjak hingga remuk.
Akan kubakar setelah ini! ©
0 komentar:
Posting Komentar